Serba-Serbi Tanah Girik: Status Hukum, dan Cara Mengurusnya Jadi SHM

Penulis : Hilda B Alexander. Kompas.com
Istilah “tanah girik” sering terdengar di kalangan masyarakat Indonesia, terutama saat membahas kepemilikan lahan yang belum bersertifikat. Meski populer, tanah girik kerap memicu kebingungan karena status hukumnya yang tidak setara dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB).
Sertifikat tanah menjadi satu-satunya bukti kepemilikan tanah. Sehingga, dengan melakukan konversi dari girik menjadi SHM, kepemilikan masyarakat terhadap tanah atau rumah menjadi kuat di mata hukum negara.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Harison Mocodompis pun memberikan alasannya.
“Karena, kalau sertifikat itulah yang disebut sebagai dokumen pemilikan atau penguasaan atas tanah yang terdaftar, dan karena itulah disebut bahwa seseorang telah mendaftarkan tanahnya,” ucap dia kepada Kompas.com, Sabtu (14/6/2025).
Oleh karena itu, penting mengetahui latar belakang, dan status Tanah Girik. Apa Itu Tanah Girik? Tanah girik adalah lahan yang kepemilikannya dibuktikan dengan surat kuasa atau dokumen tertulis, bukan sertifikat resmi seperti SHM. Surat girik biasanya diterbitkan oleh kepala desa atau lurah sebagai bukti penguasaan lahan untuk keperluan perpajakan, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
tanah girik memiliki kekuatan hukum yang lemah. Status Hukum Tanah Girik Tidak diakui, karena Undang-undang Pokok Agraraia (UUPA) Pasal 16 ayat (1) hanya mengakui hak atas tanah seperti hak milik, HGU, HGB, hak pakai, dan hak sewa. Istilah girik tidak disebutkan, sehingga tidak memiliki kepastian hukum tetap. Girik juga hanya dokumen kepemilikan lama. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan girik sebagai alat bukti tertulis kepemilikan lama, bersama petuk pajak bumi, pipil, kekitir, atau verponding. Namun, bukti ini hanya berlaku sebagai petunjuk, bukan kepemilikan resmi.
Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 96, dokumen tanah adat seperti girik, letter C, dan petuk D tidak akan berlaku sebagai bukti kepemilikan setelah 2 Februari 2026. Pemilik wajib mendaftarkan tanahnya dalam waktu lima tahun sejak PP diberlakukan (Februari 2021) untuk mendapatkan sertifikat resmi. Tanah girik rentan terhadap sengketa karena rawan dimanipulasi oleh mafia tanah. Kementerian ATR/BPN mencatat girik sering dipalsukan untuk klaim kepemilikan ganda, memicu konflik pertanahan. Cara Mengurus Tanah Girik Menjadi SHM Untuk meningkatkan status tanah girik menjadi SHM dan memenuhi regulasi sebelum 2026, berikut langkah-langkahnya:
Siapkan Dokumen
– Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga (KK) pemohon.
– Surat girik asli atau letter C.
– Bukti pembayaran PBB lima tahun terakhir (STTS/struk ATM).
– Surat Keterangan Tidak Sengketa dari kelurahan/desa.
– Akta Jual Beli (AJB) atau surat waris (jika ada).
– Surat Keterangan Riwayat Tanah dari kelurahan.
Urus Surat di Kelurahan/Desa
– Ajukan permohonan Surat Keterangan Riwayat Tanah dan Surat Tidak Sengketa ke lurah/kepala desa.
– Sertakan girik dan bukti PBB untuk verifikasi.
Ajukan ke Kantor BPN
– Datangi Kantor Pertanahan (Kantah) setempat dan serahkan dokumen ke loket pendaftaran.
– Petugas akan memverifikasi kelengkapan berkas dan memberikan tanda terima.
Pengukuran Tanah
– Petugas BPN akan melakukan pengukuran lahan dengan kehadiran pemohon atau kuasanya untuk menunjukkan batas-batas tanah.
– Hasil pengukuran dicetak sebagai Surat Ukur, ditandatangani pejabat berwenang.
Pembayaran BPHTB
– Bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan luas tanah yang tercantum di Surat Ukur.
Penerbitan SK dan Sertifikat
– Setelah pengumuman selama 60 hari (tanpa sengketa), BPN menerbitkan Surat Keputusan (SK) Hak atas Tanah.
– Sertifikat SHM diterbitkan oleh Subseksi Pendaftaran Hak dan Informasi (PHI). Ambil sertifikat di loket pengambilan (estimasi waktu 6–12 bulan, tergantung kelengkapan dokumen).
Biaya:
– Biaya pengurusan bervariasi, tergantung lokasi dan luas tanah. Contoh: BPHTB dihitung 5% dari (NJOP – Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak/NPOPTKP).
– Tambahan biaya administrasi, pengukuran, dan PPAT (jika melalui notaris) sekitar Rp 1–5 juta untuk tanah kecil ( – Tips: Manfaatkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) 2025 untuk biaya lebih murah (Rp 150.000–Rp 500.000 per bidang). Hubungi Kantor BPN setempat untuk info jadwal PTSL.